Skip to main content

Puisi Tentang Bencana Alam Tsunami Di Tanah Rencong

Puisi Tentang Bencana Alam Tsunami Di Tanah Rencong
Puisi tentang bencana alam tsunami di tanah Rencong. Puisi tentang tsunami ini ditulis ketika peristiwa alam tsunami di aceh atau yang di kenal tanah rencong, tsunami aceh yang memporak-porandakan bumi serambi mekah sehingga aceh pun berduka. dan puisi tentang bencana alam tsunami ini di tulis sebagai bentuk perhatian dan rasa keperihatinan atas musibah yang menimpa tanah rencong
Puisi Tentang Bencana Alam Tsunami Di Tanah Rencong

Gelar tanah rencong merupakan gelar yang di berika pada propinsi paling barat indonesia yaitu aceh. biasa juga disebut negeri serambi mekah. Konon ceritanya dengan rencong pejuang pejuang aceh pada zaman dahulu berjaya mempertahankan aceh.

Menurut catatan sejarah, Rencong adalah senjʌta tradisional yg digunakan pada Kesultanan Aceh semenjak masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah yang merupakan Sultan Aceh yg pertama. Rencong di Kesultanan Aceh sangatlah penting, selalu diselipkan di pinggang Sultan Aceh, selain itu para Ulee Balang serta warga biasa juga memakai Rencong. begitulah sekilas tentang aceh yang di landa bencana alam tsunami.

Puisi Tentang Bencana Alam Tsunami Di Tanah Rencong

Puisi tentang bencana alam tsunami atau puisi tentang tsunami aceh yang diupate dalam ada tiga judul yang tentunya menceritakan tentang kejadian alam, yang terjadi di aceh, adapun masing-masing judul puisi tentang bencana alam tsunami di aceh antara lain.
  • Puisi air mata aceh
  • Sajak airmata di tanah rencong
  • ziarah sunyi
  • Sajak tentang tsunami
  • sajak kematian kepada kita
  • Puisi Ibuku bersayab merah
  • Puisi Indonesia menangis
  • Puisi tsunami dan nyanyian sunyi
Bagaimana cerita sedih tentang bencana alam pada tiga puisi tentang tsunami tersebut, untuk lebih jelasanya disimak saja tiga puisi tentang bencana alam tsunami berikut ini.


PUISI AIR MATA ACEH
Oleh: Ahmadun Yosi Herfanda

Mendengar namamu saja
Sudah menitik air mata
Sebab, sepanjang sejarahmu adalah luka

Pada masa Cut Nya
Peluru Belanda mengharu birumu
Pada masa merdeka
Peluru GAM dan serdadu melukai dadamu
Pada tubuhmu yang lunglai
Orde baru menyedot sumsum tulangmu
Dan kini gempa dan tsunami
Meluluh-lantakkanmu

Mendengar namamu saja
Sudah menitik air mata
Kerena tiap tarikan nafasmu
adalah derita

Pada mayat-mayat yang berserakan
Kutorehkan sajak-sajak pedihku
Namun semilyar kata pun
Tak cukup mencatat tangismu

Jakarta, Januari 2005


SAJAK AIRMATA DI TANAH RENCONG

Jerit pekik menukik
Diantara hamparan org-orang panik
Kemaha dasyhat'n tlah diperlihatkan

Hamparan manusia laksana di masyhar
Tangis sedih terdengar hingar
Jasad kaku membeku
Beribu ribu

Dimana ayah ku?
Dimana ibu ku?
Dimana anakku, saudara ku, dan kerabatku ?

Lihatlah dengan kepekaan hati
Kemana sombongmu, wahai manusia?
Masihkah jemarimu kau tepuk kan ke dada

Sadarilah !
Kita hanya anai anai kecil
Tak berdaya ketika badai terbangkan kerikil
Waktu adalah pelajaran
Jalani titah sang sempurna dgn kerelaan

Airmata di tanah Rencong
Mengakhiri sombong
Hempasan tsunami
Semoga bukan hanya sbuah tragedi
Tapi sebuah tamzil untuk di kaji


ZIARAH SUNYI
Oleh: Wiratmadinata

(mengenang sahabat-sahabat di Serambi Indonesia,
yang pergi bersama tsunami, 26 Desember 2004)

Apakah makna sebuah pertemuan?
Sekilas cahaya di langit kelam.
Mengerlip sesaat sebelum gugur waktu.
Kita, seperti sebuah musim berputar.

Sejarah, dimanakah ia bisa bertahan?
Dalam sebaris puisi dan do,a lirih.
Atau sebuah prosa yang tak pernah selesai.
Juga kata, yang tak sempurna dituliskan.

Mengenangkanmu apakah nian maknanya?
bagiku, yang tersisa dari perjalanan masygul
saat ombak-badai membawamu pergi begitu saja.
Lautan, begitu dalam menyimpan rahasia Tuhan.

Di sudut rumah kita yang telah menjelma samudra
kita pernah bergumul dalam hidup yang sengit
sampai sejarah melemparkanku ke negeri asing
sementara engkau bertahan menuntaskan pertarungan.

Kini aku menyapamu lewat bait-bait syair kelu
sebagai do,a bagi ziarahku yang getir dan kelabu
semoga engkau mendengar gumam kalbuku
di atas kota kita yang menyimpan luka lautan.

Tak akan kucari lagi jejak sejarah kita yang indah
di atas puing, potret yang pecah dan reruntuhan kota
atau di atas lumpur yang tak berdaya menyimpan kenangan.
Tak akan kucari lagi, karena engkau telah abadi dalam do’a.

Jakarta, 8 Pebruari 2004


Sajak Tentang Tsunami
Penyair Kecil

Sampan berakit ke semenanjung
Duduk manis gadis nona berkerudung
Masih asik bermain pita-pita dari kayu
Camar-camar mengubah garis angin
Anak nelayan bermain di bibir pantai
Sesekali membuat rumah pasir
Dan sesekali hilang dibawah debur ombak mengusir
Dan kali ini tiada lagi itu
Semua tinggal cerita
Dari sabang sampai merauke
Cerita negeri dalam bencana
Tsunami



Sajak Kematian Kepada Kita
Penyair Kecil

Ketika mati serupa temali
Mengikat dengan penuh duka diri
Jika seluruh dosa dianggap tabuh
Serupa angin membisik ke seluruh tubuh

Nanti kita tahu sendiri
Tertutup gelap api tak jua padami
Berguguran satu demi satu
Pergi meninggalkan kita serupa debu

Api-api yang di dunia sempat kita padamkan
Kini tiada lagi bisa menahan
Semua terikat dengan jelas
Dalam kehidupan kedua yang nantinya semua terbalas

Jika mati serupa api
Kita enggan berdekat diri
Jika mati serupa angin
Maka kita selalu ingin menikmati angin sesejuk mungkin

Tapi mati adalah takdir
Menjawabnya adalah kata yang tak pernah kita pikir
Semua terjawab disetiap amal kita
Maka teruslah beramal selagi kita masih ada di dunia


IBUKU BERSAYAP MERAH
Oleh: Azhari

Ibu, Abah dan Dik Nong
setelah bala aku pulang ingin melihat
kalian dan kampung

kukira 26 desember cuma mimpi buruk
tapi tak kutemukan kalian di sana,
juga Arif kecil yang cerewet

seperti kalian, kampung kita ternyata sudah tiada
berubah menjadi laut yang raya

lihat Ibu ada bangau putih
berdiri dengan sebelah kaki di bekas kamarmu
bangau itu tak bersayap merah
seperti dulu pernah kauceritakan padaku

karena aku tahu bangau itu telah memberikan sayap
merahnya buatmu
agar kau peluk Abah dan Dik Nong ke dalamnya

Banda Aceh 2005


PUISI INDONESIA MENANGIS
Oleh: Sam Haidy

Tak akan sempat nisan terpahat;
ribuan nama memesan bersama-sama.
Sementara,
mayat-mayat yang belum berangkat,
terbaring berselimut puing-puing.

O, Tsunami,
airmu bermuara di mata kami!

Aan M Mansyur


PUISI TSUNAMI DAN NYANYIAN SUNYI
Oleh: din saja

sudahlah, tsunami ini bukan bencana,
hanya peringatan, bagi kita semua,
yang tak peduli dengan nasib orang-orang miskin

bersyukurlah, tsunami ini berkenan dating,
untuk mengingatkan kita tentang kekuasaan
bukan tujuan, bukan alat
untuk menindas orang-orang tak berdaya

tsunami datang
orang-orang datang
tsunami pergi
orang-orang pergi
tinggallah sepi berteman sunyi
yang pergi pergilah
yang tinggal mampuslah

Banda Aceh, 8 Januari 2005
-------------------

Demikianlah Puisi tentang bencana alam tsunami aceh atau puisi tentang tsunami di tanah rencong Simak/baca juga puisi yang lain di blog ini, semoga menghibur dan bermanfaat. Sampai jumpa di artikel selanjutnya. Tetap di blog puisi dan kata bijak menyimak/membaca puisi yang kami update. Terima kasih sudah berkunjung.