Skip to main content

Dia Bukan Untukmu

Dia Bukan Untukmu
Diraihnya hape yg sedari semalam tergeletak pada sisi kepalanya. Diketikkannya sebaris kalimat jawaban, diabaikannya perih yg terasa mengiris pada ulu hatinya. “Nggak apa-apa mas, kudune saya ora ngriwuki penjenengan,” kemudian ditekannya tombol send. Runtuh sudah. Air mata yg ditahan-tahannya sedari tadi akhirnya bobol jua. Kirana menangisi nasibnya, meratapi ketergesaannya membuka hati lagi.

Satu dasa warsa sudah dilaluinya pada penantian. Panjang, seakan waktu yang bergulir itu berkiprah sangat lambat. Seolah oleh dtk enggan menyerahkannya pada mnt. Begitu pun menit. ia seolah keberatan berubah sebagai jam. “Kenapa dulu tak pernah kutegaskan hati?” sesalnya. Saling menunggu, saling mengajuk hati, menerka-nerka sesuatu yg tidak jelas. serta pada akhirnya? dia harus melewati hari-hari. saat ukiran hitam bersanding dengan goresan putih, hitam lagi, tambah goresan putih, demikian selang seling. Memenuhi dinding hatinya. sebanyak itu jua dilaluinya ketika. Menanti merupakan pekerjaan yang tidak pernah disukainya. Mungkin jua bagi orang-orang lainnya. Apalagi, ini bicara soal rasa. Yaa, rasa ihwal hati.

Dargo. Pemilik dagu runcing dengan gurat belah di tengahnya itu sangat mempesona. Takik pipi kirinya ketika tersenyum selalu mampu menghasilkan pipinya merona. Jengah. “Bagaimana mesti kukatakan semua yg menyesakkan dada ini padanya?” keluhnya setiap kali. Magnet laki-laki itu begitu bertenaga memancar ke sekeliling. Ke arah rombongan gadis-gadis. Entah berapa jumlah gadis yg ‘merasa’ diberi hati, berapa banyak lagi yang patah hati, dan entah berapa lagi nan berhenti berharap akan cintanya. dia seolah tak peduli.

Kirana menyimpan semuanya dengan rapat. Hatinya yg mengembang, sesekali redup, bermandi air mata, putus harapan, serta seribu satu rasa lainnya. semua hanya tentang Dargo. Pemilik dagu runcing dengan senyum memikat itu.

Sampai waktu beranjak semakin menjauh, memberi jeda ruang serta waktu. Semakin lama . Tanpa terasa. Satu dasawarsa.

* * *

“Ran, minggu depan terdapat pertemuan panitia reuni. Kutunggu di tempat tinggal Krisna ya. Jam sembilan. Sem – bi – lan ….,” Deti mengagetkannya. Suaranya yg cempreng terdengar bagai kaleng susu yg kosong isinya. Disambung-sambung menggunakan tali rafia, ditarik rame-rame kesana kesini. Sember.

“Siapa aja? saya kan belum bilang bisa….,” keluhnya. Tangannya meraih bendel proposal di tangan Deti. Menelitinya cepat-cepat.

“ada Wisnu, Gusti, Kusno, Ibram, Dessy…. ada pula Abram serta Sefti, pasangan tak pernah mati kita….,” urai Deti sembari tergelak. paras Kirana masih muram. Perasaannya seperti terbelah. Reuni. aktivitas yg selama ini sangat dihindarinya.

“ada Dargo jua lhooo……,” canda Deti. dia segera menghambur ke mobilnya ketika tangan Kirana hendak mencubitnya. “Daaahh……..,” Dileletkannya lidahnya sebelum berlalu.

* * *

“Kraaannn……..,” Kirana menoleh cepat. Hanya ada satu teman yg memanggilnya dengan nama ‘usil’ seperti itu. Jantungnya berdegup kencang. Dargo. laki-laki berlesung pipit itu. yg tidak pernah bisa benar-benar dilupanya.

Keping-keping hati yg telah disimpannya pada ruang-ruang saat kini berwarna kembali. Seumpama selendang bianglala, semburat warnanya bisa mengalahkan kelamnya mendung. Wajahnya bercahaya. Pernak pernik memori mewarnai senyumnya.

Jauhnya jarak yg terbentang, lamanya waktu yg terlewat, lebur pada sapa canda di malam pertemuan. Cerita yg lama tertunda balik terurai.

Entah berapa banyak memori yg sudah dihabiskannya. pertemuan itu menyibak kembali helai-helai rasa yg disimpannya pada kedalaman hatinya. Kirana tidak memahami harus tertawa atau berduka. Tawa nan sumbang, senyum nan masam atau gundah nan menoreh balik luka.


“Sabarlah. seluruh akan terdapat waktunya. saya akan berkunjung mengunjungimu….,” bujuk merayu itu selalu sanggup meruntuhkan ketegarannya. Kirana menghela nafasnya. semenjak pertemuan itu, perang di hatinya tidak pernah henti bersaling silang kata.

‘Kau tak berhak mengharapkannya kembali Kirana. dia bukan untukmu. dia bukan Dargo yg dulu.’

Sisi hatinya yg lain menyalakan harapnya yg buram. ‘Tidakkah kau lihat binar cinta pada matanya? Cinta yg dipendamnya jauh di dalam relung hatinya. Sama. Sepertimu. dia menyimpan rasa yg sama. Rasa yg disembunyikannya. Untukmu.’

Kebingungan melanda hari-harinya. dia tidak kuasa enyahkan rasa yg jauh hari telah dikuburnya. dalam-dalam. Disimpannya pada lipatan masa lalunya. Hatinya demikian saja terulur menerima cinta yg ditawarkan Dargo padanya. Cinta masa lalunya. Cinta yg dienyahkannya dengan susah payah.

Dia sudah jauh melangkah. Mengikuti suara hati. Menabrak dinding-dinding norma yang berlaku. aturan yg bertahun-tahun diyakininya tanpa tanya. “Apa jawabmu?” tanya lembut suara itu menggetarkan beku yg menyelimuti kisi hatinya. Sorot mata itu seolah membiusnya, menghapuskan gugusan hari-harii yg dilaluinya ketika menunggu.

Kirana hanya bisa mengangguk. Seolah tidak terdapat jawaban lain yg mampu ditemukannya selain gerakan kepala pertanda sepakat.

* * *

Kini , ia terbaring. Sendiri. Dinding-dinding beku kamarnya tidak bisa sembunyikan perih yg terasa mengiris hati. dia meratapi keputusannya, kini . tidak seharusnya diterimanya uluran hati Dargo. Cinta mereka bukan cinta biasa. Cinta yg terlĘŚrang untuk disemaikan di ladang-ladang jiwanya yg kelam.

Hatinya masih saja berperang. Nuraninya mengajaknya menolak, akan tetapi rasa belahan hatinya yg lain menerimanya. Dargo telah merekahkan pulang harapan yg telah dipupusnya. impian perihal masa depan yg dirajutnya sendirian. dalam membisu.

Diraihnya hape yg semenjak semalam tergeletak di sisi kepalanya. Diketikkannya sebaris kalimat jawaban, diabaikannya perih yg terasa mengiris di ulu hatinya. “Nggak apa-apa mas, kudune saya ora ngriwuki penjenengan,” kemudian ditekannya tombol send.

Runtuh sudah. Air mata yg ditahan-tahannya sedari tadi akhirnya bobol jua. Kirana menangisi nasibnya, meratapi ketergesaannya membuka hati lagi.
---------------------

Note:
kudune = harusnya
ora = tidak
ngriwuki = mengganggu

Cerpen.Enggar Murdiasih